Strange Pilgrims: Cara Paling Getir Menikmati Indahnya Eropa

Fariduddin Aththar AM
4 min readOct 31, 2023

--

Photo by Antônia Felipe on Unsplash

Ketika pertama kali menonton film The Martian (2015) di masa SMA, saya sangat menyukai kisah tokoh utamanya, Mark Watney (diperankan Matt Damon), sebagai astronot yang tertinggal di Planet Mars dan akhirnya musti bertahan hidup dengan sedikit makanan hingga bantuan sampai dan rekan-rekannya datang menjemput. Dalam upayanya yang paling heroik, ia berhasil membuat air di planet tanpa kehidupan itu dan membudidayakan kentang.

Ketika merekomendasikannya kepada teman-teman, saya selalu membandingkan film itu dengan kisah awal-mula manusia, di mana Adam merasa sangat kesepian ketika berada di surga sehingga Tuhan mengambil salah satu tulang rusuk untuk diciptakan darinya seorang pasangan dan ibu seluruh manusia, Hawa. Bedanya, tentu saja, Adam berada di Surga. Ia merasa kesepian karena melihat makhluk-makhluk surga lain berpasang-pasangan, menikmati ladang dan taman indah dengan senyum merekah. Sedang dia hanya sendiri. Senikmat apapun ia menikmati surga, ia tak punya tempat berbagi cerita setiap hari.

Dibandingkan dengan Mark Watney, rasa kesepian Adam masih terasa lebih ringan. Mark Watney dikira mati sehingga ia ditinggalkan begitu saja. Komunikasinya dengan NASA di bumi tersendat-sendat. Ia bahkan tak melihat makhluk lain yang hidup di planet merah itu kecuali badai yang setiap malam menggempur tendanya. Dilihat dari sisi manapun, kisah Adam adalah tentang bagaimana seorang manusia merasa getir dengan keadaannya dalam gelimang kenikmatan.

Oleh karena itulah, ketika membaca satu persatu cerita-cerita pendek Gabriel Garcia Marquez yang terangkum dalam Strange Pilgrims, saya kemudian teringat pada kisah sang Nabi. Sama seperti kesimpulan sebelumnya, kisah-kisah penulis asal Kolombia ini memberikan warna serupa: kehidupan orang-orang Amerika Selatan dengan latar belakang Eropa yang terasa getir. Kegetiran itu muncul dalam berbagai bentuk: belas kasih, kemiskinan, ambisi untuk tetap dikenang, hingga garis takdir yang begitu jahat dan tanpa iba.

Teman-teman penulis dan pembaca pastinya sudah pernah membaca buku kumpulan cerpen ini. Bagi yang belum, saya akan memberi sedikit ringkasan untuk rekomendasi: buku ini berisi dua belas cerpen yang dikurasi sendiri oleh Gabo. Ia menulis banyak sekali cerpen selama ia hidup di Eropa pada masa 70–80’an, namun memutuskan untuk menerbitkan 12 cerita saja pada 1992. Terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Gramedia pada 2020 lalu dengan hasil yang cukup baik. Di antara kedua belas judul itu, dua cerpennya menjadi favorit saya.

Tentu saja semua cerita-ceritanya bagus. Namun kedua judul itu tidak akan saya baca lagi kedua kalinya untuk mempertahankan kesan pertama.

Kisah pertama berjudul “Aku Kemari Hanya untuk Meminjam Telepon” menceritakan seorang wanita bernama Maria de Luz Cervantez yang mobilnya mogok di gurun sehingga ia tak bisa berkumpul kembali dengan Saturno, suaminya, seorang pesulap kabaret. Ia pun berusaha meminjam telepon orang-orang yang lewat lalu setuju untuk menumpang sebuah bis agar bisa menemukan telepon tak jauh dari sana. Sayangnya, ia ditinggalkan begitu saja di pemberhentian bus itu, membuatnya disangka sebagai salah satu pasien rumah sakit jiwa–di mana ia terlambat menyadarinya–dan terkungkung di sana tanpa riwayat penyakit apapun.

Di sisi lain, Saturno, sang suami, bukannya tak berniat mencari. Hilangnya Maria merupakan suatu hal yang sudah lama ia antisipasi. Ia adalah lelaki ketiga bagi perempuan itu, sehingga bukan tak mungkin Maria mencari lelaki keempat. Bagi para pembaca, ini bisa jadi semacam karma bagi Maria, namun takdir hidupnya lebih tak adil lagi hingga kisahnya berakhir.

Cerita pendek terakhir menjadi kisah favorit kedua saya. Berjudul Jejak Darahmu di Salju, cerpen ini menceritakan pasangan muda dari keluarga kaya-raya yang berbulan madu ke Prancis dan tanpa sengaja meremehkan sebuah luka di jari pengantin wanita. Mereka pun membawa mobil mereka di jalanan bersalju, mencari kota terdekat dan menemukan apotik untuk membeli plester luka. Sayangnya, Nena Daconte, sang pengantin wanita, baru bisa masuk IGD dalam keadaan kritis, setelah darah dari tubuhnya tercecer di jalanan Prancis. .

Billy, sang suami, menunggu di hotel terdekat, kesulitan beradaptasi tanpa sang istri yang menguasai bahasa lokal. Ia pun menunggu hari Selasa, jadwal ia bisa berkunjung, dengan berkeliling, menghubungi kedutaan, memesan makanan atau kopi dengan bahasa tubuh. Semua itu ia lalui agar ia kemudian menemukan fakta bahwa wanita yang baru dinikahinya meninggal dunia tak lama setelah dirawat, telah dimakamkan dan dipulangkan bersama orang tuanya. Sementara Billy luntang-lantung kebingungan, ia tak menyadari bahwa selama ini orang-orang kesulitan menemukannya.

Kedua cerita di atas menjadi gambaran getir yang saya tuliskan di judul; bahwa sekeras apapun manusia berusaha, ketidakadilan garis takdir masih lebih hebat. Tokoh-tokoh ini bisa saja hidup di Eropa, dalam lingkungan peradaban maju dan modern melebihi kampung halaman mereka. Eropa bisa saja menjadi tempat berlibur, tujuan berbulan madu, arena untuk mendapatkan lebih banyak uang dan harta, namun tetap saja asing. Eropa bukanlah rumah mereka yang sebenarnya. Sekeras apapun perjuangan mereka, tanah yang asing itu bisa berubah menjadi makam atau penjara.

Sama seperti Mark Watney yang terjebak di Planet Mars, atau Nabi Adam yang rumah sebenarnya adalah bumi–karena kita diciptakan untuk menjadi khalifah, tokoh-tokoh di atas adalah para peziarah, pilgrims. Mereka ditakdirkan untuk pergi, namun pulang kembali. Adapun kejanggalan dalam hidup adalah hal wajar yang ditemukan dalam kisah peziarah manapun, yang tak terbiasa dengan hal-hal baru dan berusaha mengatasinya.

Maria-yang-Mencari-Telepon pada akhirnya tawakkal pada takdirnya di rumah sakit jiwa dan disalahpahami oleh sang suami. Billy-yang-Menunggu-Hari-Kunjungan pada akhirnya harus sadar bahwa ia musti melanjutkan hidup tanpa wanita yang dicintai. Kita semua, pada satu titik, adalah juga para peziarah itu: perjuangan kita adalah hal-hal janggal. Kita tak mungkin memperjuangan hidup di tanah sendiri, tapi di tanah orang, di perantauan. Kampung halaman baru layak dikunjungi setelah meninggal. Sebagai makam.

--

--