Pernikahan itu Merepotkan

Fariduddin Aththar AM
4 min readJul 25, 2022

--

Jangan melakukannya sendiri. Apalagi sampai dua hingga tiga kali.

Photo by Shardayyy Photography on Unsplash

“Melakukannya sendiri” dalam hal ini tidak berkaitan dengan “menikah sendirian”, fenomena yang kerap kali ditemukan dari orang-orang yang putus asa tidak bisa menemukan pasangan dan akhirnya menikahi dirinya sendiri, berjanji setia untuk membahagiakan masa depannya sendiri, karena sudah cukup siap secara harta dan mental, namun tak kunjung menemukan tambatan hati.

Saya lebih banyak merujuk pada fenomena sosial masyarakat kita yang tidak puas jika musti memberikan momen-momen penting kepada orang asing profesional, seperti wedding organizer dan semacamnya, lalu lebih banyak mendapat bantuan dari tetangga sekitar atau saudara. Umik, untuk pernikahan kakak saya kemarin, melakukan hal serupa, lalu akhirnya capek luar biasa.

Umik memilih sendiri pihak catering, sedangkan kakak pertama saya memilih sisanya termasuk dekorasi, terop, sound system, hingga tata rias. Pernikahannya diadakan di rumah, lebih tepatnya jalanan di depan rumah. Karena berada di dalam bagian perumahan, maka orang-orang hanya perlu masuk Blok J, parkir di sekitar musholla, lalu berjalan kaki sekitar 50 meter saja.

Panggung utama dan meja akad nikah digelar di depan rumah, menghadap ke arah timur. Tetangga yang bertugas sebagai penerima tamu sudah siap untuk menyambut di mejanya, berdiri di depan rumah-rumah mereka. Karena jadwal modin yang padat, rencana akad yang awalnya diadakan pukul delapan musti molor hingga pukul sembilan. Selain membantu sana sini, saya musti bertanggung jawab untuk berkoordinasi dengan MC.

Anggota keluarga sudah datang sejak pagi, sekitar pukul enam hingga tujuh, lalu disusul rekan-rekan Abi dari Dalwa, UINSA, hingga ustadz senior yang bertugas mengisi khutbah dan membacakan tilawah Al-Qur’an. Karena Abi sibuk, saya musti menyambut mereka dan mempersilahkan mereka duduk di garasi rumah. Keluarga Abi yang merupakan kyai besar di Lumajang bahkan datang lebih awal, dipersilahkan untuk istirahat di ruang tamu.

Dan ketika semua sudah siap, menunggu kedua pengantin untuk turun dari ruang tata rias, saya akhirnya beristirahat, membuka ponsel dan menggulir halaman Tik-Tok.

Acara dimulai pukul sembilan, dibuka oleh MC, dilanjutkan dengan pembacaan tilawah al-Qur’an. Prosesi akad nikah sendiri memiliki tiga rangkaian: khutbah nikah, ijab qabul dan diakhiri dengan doa. Sepanjang prosesi itu, tamu-tamu dari Lumajang yang datang dengan bus sejak pagi dan beristirahat di musholla dipersilahkan untuk masuk. Saya membantu membawakan seserahan dan berbagai macam hadiah yang diberikan.

Padahal, sejak awal, Umik dan Abi sudah menolak untuk menerima berbagai hadiah. Namun bagaimana lagi. Mereka tak mungkin membawanya pulang.

Hal ini tidak bukan karena Umik dan Abi adalah sama-sama PNS. Pernikahan ini adalah acara keluarga sehingga kalau ada orang yang menyumbang uang atau memberikan hadiah, maka hal itu juga termasuk gratifikasi. Meski begitu, kami tetap membawa masuk hadiahnya. Hadiah uang yang kemudian benar-benar ditolak, sejak di penerimaan tamu hingga panggung pengantin.

Setidaknya ada dua orang yang berhasil memberikannya: seorang teman Umik bernama Bu L (inisial) dan seorang kerabat bernama Pak S. Bu L memaksa kakak saya untuk menerimanya, lalu menaruh amplop itu di kursi pengantin karena tetap ditolak. Pak S memberi saya bingkisan dan amplop uang sambil membisikkan kabar buruk: ia musti cepat-cepat pergi, namun sempat menikmati hidangan dan berfoto bersama setelah dipaksa.

Karena rasanya tidak ada kerjaan lagi, saya akhirnya beristirahat di kamar: rebahan di kasur sembari membaca Membunuh Commendatore Jilid Pertama. Listrik sudah dilos dan AC nyala selama 24 jam. Saya menikmati momen sebelum akhirnya ustadz saya dari Malang menyampaikan kabar akan segera datang. Saya akhirnya bangkit dari kasur dan keluar kamar, turun dan menuju tempat penerimaan tamu.

Ustadz saya datang cukup lama. Ia baru turun di gerbang tol Kejapanan sebelum akhirnya mengirim pesan. Sebelum itu, saya masih sempat bertemu dengan Pak S, membawa pulang koper kakak ipar, hingga akhirnya ikut makan siang dengan hidangan prasmanan.

Jujur saja, kesibukan kadangkala membuat kita lupa. Saya baru sadar bahwa saya hanya makan seporsi nasi satu kali hari itu, namun lebih banyak mengemil dan mencomot makanan ini itu. Model pelaksanaan pernikahan ini umum dilakukan di masyarakat, meskipun sudah banyak pula jasa pengelola acara yang berkualitas. Namun bagaimana lagi. Kalau dikerjakan orang lain, Umik saya pasti tidak puas dan banyak mengeluh.

Mungkin catatan ini mirip dengan keluh kesah saya lainnya: bahwa banyak hal tidak sempurna, tidak masuk akal (menurut saya) dan beberapa hal di dunia musti disusun ulang. Mengurus pernikahan sendiri mungkin tampak seperti pengalaman yang indah, hebat atau luar biasa. Namun menggunakan jasa orang lain bukannya tidak bagus juga. Saya agak tidak terima ketika rumah perlu ditata ulang di banyak tempat hanya untuk satu pekan yang super sibuk.

Menyewa gedung juga bukan hal yang terlalu mahal. Umik masih bisa mengakomodir biayanya. Namun karena banyak hal ingin dilakukan sendiri, maka menyewa gedung sekaligus WO adalah satu paket. Umik juga tidak bebas mengekpresikan keinginannya. Kedua hal itu mungkin terpikir di kepalanya, namun karena tidak sesuai dengan kebiasaan, disingkarkannyalah lebih dahulu.

Mempersiapkan pernikahan kakak kedua saya nanti mungkin juga begitu. Saya berharap akan ada sedikit perubahan. Sedikit saja. Tidak apa-apa. Mungkin bisa dimulai dari menyewa tempat seperti aula atau restoran. Hal lain seperti musik dan makanan bisa dibicarakan. Tapi rumah yang berantakan setengah mati adalah cobaan.

Saya juga berharap agar kakak saya menikah sekali saja. Tidak perlu mengulanginya lagi.

--

--