Meja Diketuk Tiga Kali

Sedikit Cerita Horor di Rumah Sendiri

Fariduddin Aththar AM
3 min readJul 14, 2022
Photo by Egor Myznik on Unsplash

Jadi gini.

Malam itu, orang tua saya ga pulang. Siang sebelumnya, Abi pulang dari kantor untuk istirahat sebelum akhirnya minta dibangunkan ketika azan Ashar agar bisa berangkat ke Gondanglegi setelahnya. Karena itu, hanya ada tiga orang di rumah, seperti biasa. Saya dan kedua kakak perempuan.

Setelah makan — sekitar jam tujuh atau setengah delapan — kami semua kembali ke kamar. Saya dan kakak pertama saya di kamar masing-masing, sedangkan kakak kedua saya di kamar orang tua, di lantai pertama. Saya di depan laptop setelah biasa, mencoba menulis cerpen atau membaca-baca buku digital di Mendeley.

Karena bosan, saya akhirnya pindah ke atas ranjang kasur. Laptop saya bawa juga karena saya ingin bermain game sembari menonton podcast di YouTube atau film di web bajakan. Semakin lama, sekitar pukul sembilan, saya mengeraskan volume laptop semakin keras. Dan ketika saya tertawa mengikuti tawa komika-komika yang saya tonton, muncullah suara itu.

“Dok, dok, dok.”

Begitulah suaranya. Mengira kakak saya mengetuk pintu, saya pun merespon dengan bertanya, “Ya, Ning?” Tak ada jawaban. Saya segera beranjak dari kasur dan keluar menuju kamar kakak saya di tengah, masih di lantai dua. Saya bisa melihat kakak saya sedang menangis — mungkin karena sebentar lagi hari pernikahannya dan ia punya banyak kesibukan, atau mungkin karena video tik-tok yang ia tonton — tapi saya tidak peduli. Saya hanya perlu bertanya apakah dia yang mengetuk pintu.

Dia mengelak.

“Lah, terus siapa?” tanya saya. Dia pun segera bangun, mengenakan kacamata, lalu kami bersama-sama ke kamar saya dan turun ke bawah. Di lantai bawah, kami bertanya pada kakak kedua, apakah dia yang mengetuk pintu. Alih-alih menjawab, kakak kedua malah bercerita bahwa ia juga mendengar suara ketukan jendela ketika sedang makan sebelumnya.

Lagipula, saya juga tak percaya kakak kedua bisa lari secepat itu setelah mengetuk pintu. Lagipula, untuk apa?

Maka kami pun sepakat untuk bersama-sama memeriksa sekitar, memastikan semua pintu terkunci dan memutuskan tidur bersama di kamar orang tua di bawah. Saya membawa serta laptop, barangkali masih mau menonton lagi dan mematikan AC, tapi tetap menyalakan lampu. Kami juga mengecek ke luar, ke teras, tapi tidak ada siapapun. Lingkungan perumahan kami relatif aman. Tidak pernah ada berita kehilangan atau pencurian.

Setelah merasa cukup aman di kamar orang tua, kami segera menelpon orang tua yang sedang berada di Gondanglegi untuk menceritakannya. Kedua kakak saya jelas dikenal penakut, tidak pernah berani di rumah sendirian. Tapi saya adalah orang paling rasional: saya tidak percaya dengan berbagai hal gaib sebelum memastikan kemungkinan-kemungkinan saintifiknya. Bukan berarti saya menolak kehadiran metafisik, tapi saya berupaya untuk melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Maka, ketika saya tidak bisa merasionalisasi kejadian “ketok pintu” itu, saya menganggapnya sebagai kehadiran makhluk halus, dan ketakutan saya membuat semua orang panik.

Bahkan tetangga sekalipun tak akan sejelas itu. Rumah mereka tidak sampai lantai dua. Suara memukul tembok dengan kayu jelas-jelas berbeda.

Suara tikus dari langit-langit atau atap juga tidak akan seteratur itu. Suaranya seolah-olah muncul dari seorang “mengetuk pintu”, dan ketika saya mencobanya di meja belajar, sebuah meja lama dengan alas kaca transparan, saya benar-benar yakin suaranya muncul dari sana.

Dan itulah suara ketuk meja yang menghantui malam saya, malam keluarga kami.

--

--