Malam Perjamuan dan Menginap Semalam

Catatan Perjalanan Bagian Ketiga

Fariduddin Aththar AM
5 min readSep 18, 2021
Dokumen Pribadi

Sebelum turun lapangan, kami sudah mengukur berapa jauh jarak antara bandara Praya, lokasi penelitian, dan Janapria (rumah Yasin-Rozi). Setidaknya butuh waktu 30 menit dari bandara ke Kuta, lalu ditambah lima belas menit jika kami berkendara dari Kuta ke Janapria. Namun, perjalanan malam itu sangat panjang. Alasannya adalah Benang Kelambu. Rute kami menjadi semakin jauh dengan lokasi wisata. Untungnya, semua itu pantas untuk dilalui. Worth it, bahasa Inggrisnya.

Kami mampir di sebuah masjid ketika azan berkumandang. Masjid itu cukup besar, beberapa jamaahnya memakai masker seperti kami para turis. Tas-tas kami titipkan ke Nadia yang tidak sholat, dan kami mengikuti sholat jamaah. Selesai itu, kami segera melanjutkan perjalanan. Dan ternyata benar-benar jauh. Hadia dan Rozi mampir di Indomaret, membeli jajan yang ternyata nantinya akan ia suguhkan di rumah, sedangkan saya membeli lagi air tonik dan soda A&W rasa sarsaparila. Kami melanjutkan perjalanan hingga menghilang dalam jalan-jalan kecil tanpa lampu penerangan.

Nadia dan Rizqi naik motor yang sama, dan mereka hampir saja jatuh ke saluran air kalau tidak berhati-hati. Dan ketika akhirnya kami sampai di rumah mereka, kami merasa amat lega. Rumah Yasin dan Rozi ternyata bertetangga. Mereka hanya dipisahkan pagar seukuran anak remaja dan berbentuk sama. Ketika itu ada tamu di rumah Yasin, dan akhirnya mereka menjamu kami di rumah Rozi.

Kami menemui ayahnya dahulu. Yang cukup mengejutkan bukanlah ayahnya, yang tampak sesuai dengan ekspektasi karena memang terlihat alim, namun pintu depan rumah yang dilapisi jeruji besi. Yasin kemudian menjelaskan bahwa mereka pernah kemalingan, tepatnya ketika mereka masih duduk di kelas empat. Mereka membuka semua jajan yang mereka beli tadi, menghamparkan banyak tikar dan mempersilahkan kami duduk. Saya sebagai satu-satunya teman asli Yasin dan Rozi berkenalan lebih dahulu, lalu memperkenalkan Nadia dan Rizqi.

Kami tak banyak berbincang saat itu. Ketika adzan isya berkumandang, ayah Rozi berdiri dahulu. Yasin kemudian memberi saya kemeja wisuda Ginoseva (angkatannya di pondok) dan kopiah untuk sholat jamaah. Ia juga memberi Rizqi baju dan kopiah, dan kami bergegas wudhu. Namun karena airnya tinggal sedikit dan kotor, kami kembali ke rumahnya. Kami mengambil wudhu di sana.

Tempat sholat itu hanyalah musholla kecil, tanpa pembatas antara laki-laki dan perempuan. Meski begitu, jamaah perempuan yang merupakan keluarga Yasin dan Rozi sendiri duduk di belakang, agak jauh dari jamaah laki-laki. Ketika iqomah selesai, saya dipaksa untuk mengimami. Saya pikir saya bakal aman di sini, namun ternyata tidak. Paksaan itu sangat kuat. Saya didorong oleh banyak tangan yang mengetahui bahwa saya alumni pondok — dan sampai saat ini masih mondok.

Yang tidak diketahui teman-teman adalah saya tidak hafal doa. Itu adalah sekian kelemahan saya yang lain dan benar-benar membuat saya dalam posisi sulit ketika disuruh berjamaah. Di pondok dulu, setelah sholat berjamaah, saya mengambil qur’an dan menyiapkan setoran. Bagi saya, itu lebih penting dari apapun. Toh, hal itu diperbolehkan.

Dan akhirnya saya menyerahkan doa pada ayah Rozi. Beliau mungkin akan mengira saya berasal dari keluarga Muhammadiyah, sayangnya tidak. Meskipun tidak masuk dalam golongan apapun, saya benar-benar tidak hafal doa setelah sholat. Sebagian dzikirnya saya masih hafal, tapi tidak sampai tahlil. Hal itu kembali terjadi keesokan harinya, ketika saya dipaksa untuk mengimami sholat subuh.

Selesai sholat, kami berkumpul lagi di teras rumah. Kami duduk dengan malu-malu dan Rizqi berkata bahwa saya tiba-tiba menjadi pendiam. Tentu saja saya diam! Itu pertama kali saya ke rumah teman meskipun sudah mengenalnya sejak lama. Rozi dan Yasin mengenalkan kakak-kakaknya, yang lulus dari UIN Malik dan UM. Mereka juga sempat bertanya tentang jurusan kami, apa yang kami pelajari dan apa yang kami lakukan saat ini. Saya kira, penggunaan Snouck Hurgronje sebagai contoh antropolog tidak banyak dikenal di generasi yang lebih tua. Padahal, itu adalah referensi saya yang paling baru dan umum. Emang siapa antropolog yang terkenal di sini? Malinowski? Tania Li? Wkwkwkw

Tak lama, Yasin dan keluarganya membawa makanan dari rumah. Mereka rupanya mengajak kami makan bersama di teras itu. Nasi putih tak perlu disebut karena keluarga mereka punya usaha penggilingan padi. Mereka membawa ayam goreng dan kacang kedelai rebus yang selain menjadi sayur juga berfungsi sebagai camilan setelah makan. Saya sangat asing dengan yang terakhir karena ia bisa diambil langsung tanpa sendok dan kuahnya diminum dari mangkok. Kulitnya masih ada ketika ia ditaruh di atas nasi, tapi tidak dimakan dan dibuang. (Saking barunya cara ini bagi saya, ketika menceritakannya kepada keluarga, mereka juga tidak bisa membayangkan.)

Kami bercerita banyak dalam momen itu. Saya tidak ingat apa saja, namun yang jelas saya sering berbisik kepada Yasin yang duduk di sebelah, memberi saya rasa aman kalau-kalau saya salah kata. Nadia diantar oleh kakak ipar perempuan Rozi untuk menaruh barang dan mempersiapkan kamar. Rizqi diminta Yasin untuk terus memakai kopiah, agar tak terlihat semir di rambutnya. Ketika semua makanan di piring habis, kami tak segera beranjak. Jajanan tadi dihidangkan lagi, kami mengobrol hingga larut malam.

Yasin melihat saya merasa tidak nyaman. Ia mengira saya mengantuk, padahal saya capek memakai kopiahnya yang terlalu ketat dan perut saya tidak bisa diisi lagi saking penuhnya. Ingat, sebelum ke rumah mereka, saya sudah makan bakso dan sisa ayam geprek Nadia. Kalau ada yang bilang bahwa makan kekenyangan itu haram, maka perut saya ini sudah tidak boleh disentuh. Bisa-bisa saya harus mengusap debu tujuh kali ketika wudhu.

Ketika jam menunjukkan pukul sembilan, barulah ayah Rozi beranjak dari duduknya, diikuti dengan orang tua lain. Buat orang desa, jam segitu sudah seharusnya mereka tidur. Saya menjulurkan kaki karena sejak tadi bersila, merasa lebih santai dengan tidak adanya tuan rumah yang lebih tua. Yasin mengajak kami untuk masuk kamar, namun sebelum itu barangkali kami mau jalan-jalan keluar.

Tidak ada yang bisa dilihat di desa itu. Tidak ada warung kopi atau kafe, hanya ada warung-warung biasa tempat warga nongkrong. Kami berjalan ke arah salah satu toko milik kakak mereka, namun hanya mengobrol sebentar: itupun kami tidak ikut nimbrung karena kendala bahasa. Kami akhirnya pulang dan istirahat, masuk kamar dan rebahan dengan tenang.

Saya sempat menulis sedikit laporan observasi, namun hanya bertahan satu setengah halaman. Saya menutup laptop untuk kemudian berbincang hal-hal lain, melihat-lihat reel di IG, dan rencana untuk turun lapangan. Mungkin sekitar pukul sebelas malam, kami baru tertidur, setelah mematikan lampu dan hape. Apalagi, Rozi dan Yasin capeknya setengah mati. Mereka sudah menjemput kami dan mengantar ke objek wisata. Oleh karena itulah saya berterimakasih sekali, meskipun baru memberitahu akan datang ketika sudah hendak terbang.

--

--