Kacamata Baru

Fariduddin Aththar AM
2 min readAug 8, 2022

--

Photo by Dmitry Ratushny on Unsplash

Kisah ini dimulai dari hari pernikahan kakak saya.

Setelah pernikahan itu, saya merasa sangat lelah, belum lagi harus bermain-main dengan dua adik sepupu yang ikut menginap di rumah. Sekitar pukul sembilan atau sepuluh saya sudah tidur. Saking lelahnya saya sampai tidak sadar belum melepas kacamata dari wajah. Esoknya, kacamata itu sudah patah. Frame bagian kiri atasnya patah dan lensanya lepas begitu saja.

Karena berpengalaman dalam hal ini, maka saya hanya menganggulanginya dengan selotip saja, namun ternyata tidak membantu sehingga proses belajar saya sehari-sehari terganggu. Maka saya meminta uang untuk membeli frame baru. Sekitar lima hari kemudian, kebutuhan itu langsung terpenuhi.

Saya tidak perlu mengganti lensa karena nyaman dengan ketebalannya, sekitar minus 4,5. Di optik, saya hanya perlu mencari frame yang sekiranya muat untuk lensa saya itu, dan kalaupun framenya lebih kecil, maka hanya perlu dipotong sedikit untuk menyesuaikan ukurannya. Dan lensa itu pun ternyata tidak perlu dipotong: saya tidak hanya memilih frame yang cocok dengan penampilan, tetapi muat untuk lensa juga.

Dan begitulah kira-kira cerita saya tentang kacamata baru. Saya ingin melanjutkannya dengan sebuah cerita lain yang lebih personal.

Situasi keluarga saya sedikit membingungkan. Saya ingin menyebutnya “berantakan” namun semua hal tampak baik-baik saja di mata.

Kedua orang tua sakit. Kakak pertama saya harus segera pindah ke rumah baru yang dikontraknya di Surabaya agar suaminya tidak perlu bolak-balik dari Surabaya Utara ke rumah. Kakak kedua masih di rumah untuk membereskan segala hal, membersihkan rumah dan membuatnya rapi setiap hari.

Sedangkan saya, masih kuliah dan musti menempuh semester baru. Setelah melihat keadaan kedua orang tua, rasanya saya tidak bisa buru-buru mencari beasiswa atau belajar bahasa Inggris untuk mendapat beasiswa S2. Cita-cita saya ke Eropa mustinya ditunda dahulu. Saat ini, saya ingin kedua orang tua baik-baik saja. Kesembuhan mereka adalah prioritas utama.

Lagipula, pekerjaan untuk lulusan sarjana masih banyak tersedia. Meskipun, pada akhirnya, saya musti memikirkan ulang apakah saya hanya akan menafkahi hidup saya sendiri ini dari menulis saja. Kemampuan menulis saya mandek, tidak banyak orang yang mau menjadi mentor atau memberikan kritik. Beberapa tulisan dimuat begitu saja di media: tanpa kurasi, dan juga tanpa bayaran. Cerpen atau tulisan opini tidak memberikan banyak pemasukan.

Menulis di Medium ini hanya saya jadikan bahan kontemplasi. “Mengeluarkan unek-unek” kalo kata orang-orang. Padahal saya ingin lebih dari itu. Saya ingin menjadi penulis profesional yang dikritik banyak orang. Saya ingin tulisan-tulisan saya berubah menjadi pundi-pundi uang.

Namun tak apa. Mungkin bukan rezeki saya di sini. Berhenti menulis pun rasanya tidak mungkin karena hanya ini bakat saya, tidak ada di tempat lain. Saya mungkin akan mencari banyak sekali pekerjaan, mencoba berbagai kesempatan, sebelum akhirnya saya hidup sendiri selama-lamanya.

Dan semoga kacamata baru saya ini tidak mudah patah. Mahal sekali untuk menggantinya.

--

--