10 Film Pendek Favorit

dari Ajang Layar Lokal 4

Fariduddin Aththar AM
8 min readNov 12, 2023

Tahun 2023 sudah hendak berakhir. Tiga kali ikut festival film, hanya satu festival di mana saya bisa mendapat kursi screening dari awal hingga akhir. Di Mafifest bulan April, saya belum tertarik untuk turut menonton film. Di Sewon Screening bulan September, tidak ada kursi yang tersisa karena orang-orang berebut di antrian. Itulah momen yang mencerahkan di mana saya harusnya ikut menonton pula. Setidaknya, mengapresiasi film-film pendek dan penayangan alternatif. Selain itu, saya musti belajar menulis kritik.

Oleh karena itu, saya hanya akan membuat daftar film-film pendek favorit saya dari ajang Layar Lokal 4 yang diselenggarakan 28–29 Oktober lalu di Dewan Kesenian Sidoarjo. Setidaknya ada dua program utama: Layar Delta untuk non-kompetisi dan Layar Nusantara untuk kompetisi. Selain itu, ada Taruna Liar Showcase untuk film-film pendek yang dihasilkan dari program yang disupervisi langsung oleh Sure Pictures (Semarang) dan Surprise Screening dengan film Payung Dara (Reni Apriliana, 2023)

Tanpa membeda-bedakan programnya, saya akan membuat daftarnya sesuai favorit saya.

Mbiyodo (Lukman Hakim)

Sumber: Instagram @rayamedia_reative

Mbiyodo merupakan tradisi masyarakat Jawa, terutama kelompok perempuan, untuk saling membantu ketika ada tetangga yang memiliki hajat seperti pernikahan dan semacamnya. Di daerah Jawa lain tradisi ini disebut rewang dan, karena dikerjakan oleh kelompok perempuan di dapur (sedangkan laki-lakinya menerima tamu dan menata terop), mbiyodo identik dengan arena gosip. Film yang diproduksi di Malang ini masih memelihara stereotip itu, namun mengeksplorasinya menjadi keriuhan yang tak habis-habis, terutama ketika ada tamu yang tak diduga-diduga, padahal hidangannya hendak habis.

Padahal, akan sangat tidak sopan jika tamu tidak diberi suguhan.

Film ini menghadirkan konflik sederhana. Alurnya ditopang oleh dialog, bukan peristiwa (dialog-driven). Karena hanya fokus pada mbiyodo-nya, setting hanya berputar di sekitar tempat pihak laki-laki melihat tamu datang dan dapur tempat para perempuan bekerja. Menambahkan setting pernikahan akan merepotkan dan tidak diperlukan dalam cerita. Endingnya juga sangat lucu dan tidak berlebihan: bagaimana ternyata daging yang hilang ternyata dibawa oleh karakter yang tak diduga sebelumnya, bahkan oleh penonton! Keren!

Ini film favorit nomor satu saya.

Pulangkeun Hayam Aing! (Laudza Dermaga)

Sumber: Instagram @aduayamgacor

Dari penelusuran saya, film ini diadaptasi dari cerpen, oleh karena itu kreativitas ceritanya luar biasa. Berkisah tentang Sugali anak belasan tahun yang terkenal karena ayam jago aduannya, Gebay. Hidupnya berkelindan dengan ayah angkatnya Kang Toha dan ibunya sendiri Nyi Kayah. Suatu hari, ayamnya menghilang dan ia diusir dari rumah. Setelah belasan tahun kemudian, ia pulang dan mengucapkan judul dari film ini: pulangkeun hayam aing!!!

Gaya artistiknya macam retro ’80an, sangat cocok untuk cerita daerah yang vulgar dan penuh kekerasan. Meskipun menghadirkan banyak karakter, sorotan terhadap tiga karakter utama cukup berimbang dan proporsional. Akting pemeran Sugali dan Kang Toha juga cukup menghayati. Keren!

Gadis dan Penatu (Alam Alghifari)

Sumber: Instagram @sakhaselatan

Tayang di berbagai festival di Indonesia, film ini sayangnya hanya membawa pulang Best Cinematographer di Layar Lokal 4 kemarin. Bercerita tentang Santi, lulusan SMK yang hendak melakukan wawancara ke sebuah hotel namun seragam putih dari masa sekolahnya sudah kekecilan. Meminta pada sang ibu, ia diabaikan. Meminjam pada temannya, ternyata sudah berpindah tangan. Ia pun melihat seragam putih milik pamannya yang sudah kering di usaha penatu milik ibunya dan berniat meminjam sebentar.

Apakah dia tetap pergi? Tonton sendiri.

Karena premisnya sangat clear dan tak perlu penjelasan tambahan, film ini mengeksplorasi bagaimana perasaan canggung dan tanpa daya yang biasa dimiliki oleh para pencari kerja juga terasa kepada penonton. Santi masih sangat muda, namun besarnya kota Jogjakarta serta hotel yang ia hendak ia lamar bekerja tak menyurutkan niatnya meniti karir sendiri, alih-alih bekerja untuk sang ibu di penatu. Kisah masyarakat kecil yang menaklukkan ketidakberdayaannya harus selalu ada. Keren!

Payung Dara (Reni Apriliana)

Sumber: Instagram @payungdarafilm

Another sex education. Setelah Yuni (2021) dan Like & Share (2022), akhirnya kita mendapat suguhan film edukasi seksual lain, namun fiksi pendek. Berkisah tentang Dara (13 tahun) yang hidup dengan nenek dengan gangguan pendengaran dan seorang paman tukang servis payung. Pada mata pelajaran olahraga, sekelompok anak laki-laki meledek payudara seorang teman dan membuat temannya itu menangis. Ia pun merasa perlu mencari cara agar payudaranya tertutup dan berniat mencari tahu sendiri, termasuk ke pasar bertemu dengan pedagang majalah dewasa dan penjual BH. Di dunia patriarkis yang tidak aman untuk perempuan, Dara belajar sendiri bagaimana menemukan ruang amannya.

Film yang masuk nominasi film cerita pendek terbaik Festival Film Indonesia 2023 ini mungkin menghadirkan premis yang sederhana, namun menonjok semua pihak yang menonton: anak laki-laki yang masih senang menggoda fisik teman perempuan, institusi pendidikan yang tidak aman, hingga pendidikan seksual di sekolah yang masih seksis. Misi produsernya, Fani Chotimah, untuk menayangkan film ini di daerah-daerah menjadi poin besar, alih-alih mengintensifikasi ide serupa yang sudah jamak di kota-kota besar. Keren!

Salah Beli (Herlambang Budi)

Film komedi dari program Taruna Liar ini menarik karena dialog-dialognya macam sketsa, kekonyolan-kekonyolan stereotipikal akan preman kampung, anak nakal, hingga gadis lugu. Premisnya tidak terlalu jelas, namun kisahnya berjalan dengan baik dengan komedi fisik ala televisi dan nasihat-nasihat klise yang mengiringi. Meskipun film pertama, eksekusi filmnya sudah cukup luar biasa.

Dana Kalian (Imam Syafi’i)

Bagaimana jika orang yang punya hutang ke pinjol bekerja ke pinjol untuk melunasi hutangnya? Mengganti identitas solusinya. Itulah yang dilakukan Dodi, pemuda pengangguran yang setiap hari didatangi debt collector namun memilih bersembunyi di kamar. Sang ibu, yang setiap hari musti berurusan dengan debt collector itu akhirnya capek, lalu mengusir Dodi agar segera mencari kerja.

Mengikuti rel kereta (entah apa maknanya), ia akhirnya potong rambut dan membuat foto KTP baru, yang digunakannya untuk melamar kerja di pinjol yang ia hutangi. Ia pun bekerja dan belajar bagaimana bersikap kepada pelanggan: kadangkala mengancam untuk mendapat angsuran, kadang bersikap lemah-lembut kalau tidak memungkinkan.

Dana Kalian sebenarnya mengambil tema yang cukup aktual dan pelik yang saat ini masih diperbincangkan. Pilihan sudut pandangnya pun juga menarik. Namun, adegan di mana ia berenang di sebuah sumber kecil dapat dipertanyakan ketika ditonton. Imam Syafi’i, sang sutradara, menyebut bahwa itu adalah sesi kontemplasi dan perenungan, di mana pada akhirnya Dodi memutuskan pilihannya. Alasan untuk “menunjukkan lokalitas Klaten yang memiliki banyak sumber” malah dirasa tidak perlu dan “lokalitas Klaten” sendiri tidak terasa sejak awal.

Namun, film ini cukup bagus. Saya menikmati perenungan dan ketidakberdayaan Dodi sebagai seorang pengangguran, hingga akhirnya ia menemukan kesulitan lain di akhir. Applause!

Orderan Janda (Dimas Putih)

Opak Sarang Heong, soundtrack orisinil film Orderan Janda

Mengambil kisahnya dari pengalaman nyata, film ini berkisah tentang mahasiswa Jogja bernama Upon yang mendapat orderan ojek online menjemput seorang wanita. Ia pun membagikan pengalamannya ini di grup WA sesama driver, dan mendapat arahan bagaimana ia seharusnya bersikap dengan godaan dari penumpangnya, seorang janda-membawa-anak bernama Wanda.

Jogja yang hujan, suasana yang kikuk, hingga undangan minum teh menjadi momen-momen cringe yang membuat penonton tetap tersenyum, melihat senyum geli-geli tipis Upon. Komedi dalam film ini berhasil, tidak hanya karena merakyat dan populer, tetapi juga godaan-godaan khas grup WA yang vulgar (dalam ruang privat) dan tidak bisa menahan diri. Namun, karena berniat menjadikan film ini benar-benar komedik, sutradaranya menggunakan segala macam teknik, yang malah terkesan tidak konsisten dan campur aduk.

Applause khusus seharusnya diberikan kepada soundtrack filmnya, Opak Sarang Heong oleh Prima Setiawan. Masukin playlist favorit!

Bersama Membangun Negeri (Deo Mahameru)

Sumber: Instagram @cinemahameru

Mengambil setting kampanye menjelang pemilihan daerah, film ini bercerita tentang seorang calon legislatif bernama Heni yang mencoba membuat video kampanye di sebuah kampung. Namun, objek kesedihannya (ini dari sinopsis) adalah seorang nenek tua bernama Satinah yang tak kunjung mengucurkan air mata. Dia pun harus mengaudisi orang-orang lokal dan memperkenalkan mereka pada filter sedih di gawai, namun tak ada yang cocok. Hingga akhirnya ia mengatakan hal yang tak pantas dan Bu Satinah akhirnya menangis, tetapi juga marah padanya dan merusak momen syuting.

Tema film ini luar biasa, tentang kampanye dalam pemilu yang rupanya artifisial dan direkayasa. Namun, sebagaimana pemilu dikatakan sebagai pesta demokrasi, kehadiran Heni yang sedang syuting video kampanye juga merupakan pesta bagi masyarakat, setidaknya kelompok ibu-ibu dan anak-anak yang menyaksikan. Secara pribadi, saya tidak terlalu tertarik dan memasukkannya di list terakhir, meskipun dalam ajang layar lokal kemarin mendapat banyak piala, termasuk penghargaan utama. Congrats!

Saya Nikahkan (Andi Risdianto)

Bagaimana jika seorang ayah tak sanggup menjadi wali untuk menikahkan putrinya? Pertanyaan inilah yang menjadi premis bagaimana Bapak Subandi meminta putranya datang ke kamar dan mengajarkannya ijab kabul semalam sebelum pernikahan. Alasannya bermacam-macam, seperti tak paham baca tulis, sang putra yang belajar agama, hingga Pak Subandi yang sudah repot dengan menyiapkan pernikahan.

Namun, alasan utamanya adalah ketakutan. Benar. Sebagai seorang ayah, ia merasakan segala hal dalam spektrum rasa takut itu seperti khawatir akan salah ucap, ragu mengambil posisi wali, hingga kenyataan bahwa putrinyalah yang memintanya sendiri. Ending film ini menentukan apakah ia cukup berani atau tidak: apakah dia sendiri yang mengucapkan “Saya nikahkan.”

Pernikahan dan momen-momen (yang disebut) sakral menjadi banyak latar atau titik poin penceritaan: sebagaimana Mbiyodo di nomor pertama daftar ini. Namun, alih-alih berurusan pada itu, eksplorasinya adalah posisi ayah yang jarang dibicarakan, ketakutan-ketakutan terdalam mereka. Mungkin karena terlalu pelan dan ending yang mengejutkan, saya menaruhnya di daftar terakhir. Namun ini juga keren!

Penalti (Chandra Kirana Saputra)

Film ini tayang di hari pertama, dalam program pemutaran perdana Layar Lokal 4 kemarin. Berkisah tentang seorang anak yang ragu ketika mengambil pinalti karena omongan-omongan yang ia dengar sebelumnya, film ini tidak terlalu menarik buat saya selain pada pesan-pesan tersuratnya yang memberi dukungan pada Tragedi Kanjuruhan (2022).

Di sebuah warung pinggir lapangan, sebuah spanduk hitam bertuliskan “Tidak Ada Sepakbola Seharga Nyawa” dan ketika tendangan pinalti itu mengenai penjual roti hingga terjatuh dan menyebabkan kericuhan, sang komentator menyebut “Harap tenang! Tidak ada gas air mata!” Kalau tayang di Malang, pesan-pesan tersebut pasti akan mendapat tepuk tangan. Sayang hanya di Sidoarjo. Terima kasih banyak!

Maka, berikutlah daftar favorit dari film-film yang saya tonton selama ajang Layar Lokal 4 kemarin. Tidak berniat menjadi juri, ini adalah penilaian subjektif saya sebagai penonton saja. Hitung-hitung, menulis kritik tipis-tipis. Namun, daftar ini hanya milik pribadi. Silahkan jika ada teman-teman yang berbagi pendapat lain.

--

--